ads

Slider[Style1]

Style2 a

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Style 6

Potret Kenangan (Cerpen Romantis)

Embun pagi yang menyegarkan alam semesta ini, seakan mengingatkanku akan hari-hari yang ku arungi melawan segala pahit asinnya hidup. Adakalanya saat-saat aku merindukan hal itu. Suatu hal yang tak pernah lepas dari ingatanku semalam. Buih-buih sesal masih menyambar lembut pada batin ini. Konyol memang terdengar.Tetapi mampus terasa pada diri ini. Diri yang semakin tak mengerti apa maksud dari semua ini. Dicampakkan, tak dihiraukan bahkan dibenci.

Aku sang Putri Tanta Manaf yang terlahir dari keluarga sederhana akan tetapi kesedErahanaan itu tertutupi pada setiap permintaanku yang selalu terwujudkan dari kedua orang yang sangat menyayangiku. Mungkin benar kata orang menenai Anak Tunggal yang mampu merampas semua kasih sayang kedua orang tua. Merekalah yang mengerti mengenai apa yang seharunya ku butuhkan,kuwajibkan, dan ku inginkan. Tak sama seperti yang lainnya. Aku yang setiap luang waktu menyibukkan diri dengan sebuah kamera berwarna hitam yang merupakan hadiah Sweetseventen dari kedua orang tuaku. Dari hobi ini pandangan jelek sering menilaiku yang kata mereka egois memikirkan diri sendiri.

Hari ini sang waktu tlah berada di titik kebebasan. Weekend day itulah hari dimana aku merasakan hidup sebenarnya. Tak peduli dengan yang lain. Dengan berbekal sebuah kamera yang menggantung di leherku dan tas ransel kecil di punggungku. Dan saatnya ku mulai menghempaskan sebuah cerita yang berawal dari rasa kepenatan yang ku alami di sekolah.

“ Weekend for hunting” teriakan yang hampir seminggu sekali terdengar oleh orang – orang yang dekat dengannku. Tak perduli sarapan . Tak perduli mama masak apapun, tak perduli ayah sesibuk apapun. Seperti rencana yang sempat terancang semalam. Untuk hari ini lokasi Taman Mawar Melati adalah tujuanku. Dengan menunggang sepeda sekuter dengan santai ku nikmati perjalanan. Hampir tak ku perdulikan setiap barisan kerikil jalanan yang tak karuan.

“Tinnn… Tinnnn…” Suara mobil pribadi terdengar dari arah belakang.
“Woi… jalannya sempit kalau naik sepeda cepet dikit. Mending jalan aja..” Suara cowok terdengar keras teriak dari balik kaca mobil.

Tanpa berfikir cukup lama, aku merasa tidak nyaman dengan tingkah laku bocah sombong itu. Sepeda yang ku tumpangi langsung aku hentikan di tengah jalan .

“Mas, santai aja ini jalan punya umum ngapain situ sewot . Kalau mau cepet jangan lewat jalan sempit. “ Kekesalanku tak lagi mampu terbendung.

Tak lama, seseorang dengan penampilan rapi dengan berkalung kamera turun dari mobil itu. Dia hanya diam dengan memandangi penampilanku dari ujung kaki sampai kepala.

“Apa lihat – lihat” Aku semakin kesal saja

“Yaelah kamu udah gede ya tata yang dulu waktu SD narsis banget terus kalau uang sakunya belum habis jajan terus nunggu habisnya uang. Aku Boy temen kamu waktu SD. Ternyata galak kamu tetep ya walaupun udah gede” Jelasnya sambil mengambil gambar di sekitar area tempat mereka berbincang – bincang

Ternyata sosok Boy teman kecil satu SD yang kini membuat aku semakin terpukau dengan penampilannya. Aku hanya terdiam dan tersenyum melihat tingkah dan mendengar tuturnya yang sangatlah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu.

Semenjak saat itu komunikasiku dengan Boy semakin baik. Senang serasa dekat kembali dengan teman masa SD dulu . Akan tetapi, Sekolah baru tingkatan SMA membuatku tak nyaman. Sebenarnya bukan karena sekolahnya,lebih tepatnya dengan seseorang. Dia adalah teman satu kelas yang dari awal memang membuat aku tak lagi mampu berpaling dengan siapapun. Tetapi, sampai sekarangpun komunikasi antara aku dan dia tidak sebaik dengan teman-teman yang lain. Apalagi semenjak gosip murahan tersebar dari gerakan lidah yang singkron dengan bibir beberapa temanku yang membuat sketsa jarak antara aku dan dia.

Roy panggilan akrab dari kawan – kawan. Ia yang terkenal ramah, pintar , baik hati dan suka membantu. Itulah yang membuatku silau. Silau akan kepribadiannya, silau akan senyum manisnya. Apalah kemampuanku , hanya mampu berkata

“Sudahlah buat apa di fikirkan. toh, dia gak perduli.”

Lambat laun waktu berkata lain, Aku yang sering bertemu di luar bersama boy membuat kita menjadi sahabat yang selalu dekat. Sahabat yang pernah terikrarkan diantara kita yang semakin hari semakin erat. Hobi yang sama berhasil merajut persahabatan ini. Sering sekali aku menceritakan mengenai kehadiran Roy. Bahkan, ia yang mampu menghibur kesedihan yang sering sekali melantun hebat pada diri ini.

Seperti biasa, hari minggu dimana aku dan boy bersama untuk mengambil aneka macam foto. Saat ini, aku dan boy sepakat untuk mendatangi Taman Strawberry. Ketika di tengah keasyikan kami memotret tiba tiba, ada sosok orang yang memandangi tingkah laku kami dari kejauhan.
“Sepertinya aku mengenalnya? “ Aku bergumam .

Tetapi, masa bodoh sedikitpun aku tak memperdulikannya. Bahkan , akhir – akhir ini setiap di lokasi pemotretan selalu ada orang itu. Memang samar – samar . Mungkin Blur lebih tepatnya karena sorotnya dari kejauhan.

“Roy…….” Aku semakin mengenalinya. Akan tetapi, ia lari dariku. Tetapi, memang benar dia Roy. Untuk hari ini, pemotretan cukup 2 jam. Aku memutuskan untuk pulang .

“Boy, aku pulang dulu ya. Gak enak badan. “ Aku pamit dan berlangsung meninggalkan Boy sendiri
Masih dengan fikiran yang sama, yaitu mengenai Roy. Saat di tengah perjalanan ada gerumbulan orang yang terlihat cemas.

“Mas, itu ada apa?” Tanyaku pada salah satu orang yang ada di trotoar .
“Ow, orang pingsan mbak. Mbaknya wartawan ya? “ Tanyanya
“Ow bukan. Kebetulan saja saya hobi motret. Baiklah, terimakasih .”

Beberapa hari ini, di sekolah Roy tak terlihat. Menurut teman-teman ia sedang sakit. Dan rencana teman-teman kelas untuk menjenguknya malam ini. Banyak dari mereka yang menawarkan kepadaku supaya aku ikut dengan mereka. Akan tetapi, untuk apa aku ikut. Fikiran bodoh menyusup halus di dalam syaraf-syaraf otakku.

“Ow maaf. Aku ada janji. Salam ya untuk Roy, semoga Lekas sembuh” Itulah jawabanku kepada mereka.

Ketika sore hari, Boy membuat janji denganku untuk bertemu di Taman dekat rumah sakit dimana Roy dirawat. Entah apa yang akan dibuat olehnya. Sesampainya disana Boy menceritakan mengenai penyakit yang telah lama bersarang di tubuh Roy yaitu leukemia. Ia juga menceritakan mengenai Roy yang ditemukan tergeletak di pinggir jalan . Ternyata selama ini, dimana ketika hari libur yang biasanya aku hunting , ia juga mengikutiku hanya saja aku yang tak pernah tahu itu.

Setelah mendengar cerita dari Boy, aku sadar atas semua tingkah laku Roy. Tak berpengaruh apa – apa air mata kesedihan ini. Hanya saja ungkapan kekecewaan atas dugaan salah yang selama ini terngiang di fikiranku. Aku bergegas untuk menuju rumah sakit dan menjenguknya.

Setelah mengetahui keadaan Roy yang terkapar tak berdaya di atas ranjang tempat tidur rumah sakit, hatiku semakin tersayat sakit. Akan tetapi, ku bendung air mata dan ku ulas sedikit senyum untuknya
“Terimakasih sudah menjenguk. Maaf selama ini aku telah membohongi diriku sendiri. Ow iya, setiap hasil foto kamu tershare di sosmed aku tanpa izin mengambilnya. Ini hasilnya, maaf ada sedikit editan dan ada beberapa foto kamu waktu kamu hunting. Baguskan?. Ow iya, Aku pengen besok setelah pulang sekolah ajak teman –teman ya untuk kesini tentunya kamu juga. Aku pengen kita foto bareng. Buat kenang – kenangan.” Roy tersenyum

“Iya. Aku pamit dulu. “ Aku berlari dan cepat berlalu dari ruangan yang sampai hati mampu menyiksaku. Di balik pintu ruangan Roy aku bersimpuh menangis. Tak kuasa air mata ini ku bendung. Ku pandang karya Roy yang sengaja ia buat untukku.

Keesokan harinya, dimana pembelajaran sekolah telah selesai, aku dan kawan kawan berniat menjenguk Roy kembali seperti permintaan Roy. Cukup lama aku ,Roy dan kawan – kawan bercanda tawa ria di dalam ruangan. Roy terlihat senang sekali. Ia mampu tertawa lepas. Hingga tak terasa hari telah larut malam. Aku dan kawan – kawan bergegas pamit untuk pulang.

Senang sekali melihat siang tadi. Roy yang mampu tersenyum dan tegar. Roy yang berbincang – bincang kepadaku . Terasa mimpi semua itu.Hingga malam yang dingin tak lagi terasa dingin. Malam yang menggelapkan alam tak lagi gelap pada mata dan hati ini. Hingga tak terasa lamunanku mengantarkan aku tidur .

Keesokan harinya , aku mendapat kabar dari teman – teman bahwa Roy tlah tiada. Ia tlah pergi ke alam kedamaian untuk selamanya. Tanpa pamit dan permintaan kemarin adalah akhir dari semuanya. Perbincangan dan canda kemarin adalah akhir dari kegembiraan. Aku semakin tak mengerti dengan waktu. Waktu yang kejam tlah mampu mengecewakanku ,memberiku tangis, menebar jarum lara, memucatkan cuaca pagi. Sungguh waktu yang begitu kejam .

Ku ambil kamera yang menjadi saksi bisu keceriaan kemarin. Ku ulangi keceriaan yang sempat ada dengan memutar beberapa foto bersama Roy. Wajahnya pucat akan tetapi masih dengan senyum yang sama. Senyum yang akan selalu kurindukan. Walaupun hanya kenangan ini yang ia berikan. Aku mampu menerimanya. Akan tetapi, butuh waktu untuk melupakan peristiwa-peristiwa yang kini hanya kenangan. Hanya ini yang kumiliki, hanya sebingkai potret kenangan bersamanya. Yang akan terkenang bersama setiap detak jam dinding yang menggantung di diding kamarku

Top